Serangan Cemas

Hari ini, aku pulang ke rumah dengan setumpuk pikiran yang mengganggu dan mengubah hatiku menjadi suatu kegelisahan. Sudah lama aku tak memadu rasa di atas kata-kata. Pada usia yang menginjak satu per empat abad ini, aku rasa sudah bukan waktunya lagi memuja perasaan.

Sebab, pintu demi pintu yang mengantarku untuk melihat luasnya dunia, mulai terbuka satu per satu. Kemudian aku diajak pula oleh Semesta untuk menaiki tangga demi tangga untuk melihat wujud aslinya; yang sebenar-benarnya.

Keputusasaan. Gila validasi. Gila materi. Ambisi. Konflik kepentingan. Perasaan diacuhkan. Sentimentil. Harapan yang runtuh. Orang-orang yang berubah. Kemalangan. Pengkhianatan. Kemunafikan. Pertikaian. Sok aksi. 

Terlalu banyak, aku sampai lupa untuk mengingat. Semuanya kutemui di sepanjang perjalanan ku menyusuri usia ini dan membuatku menjadi seorang realis, bukan lagi pemimpi. Dulu, aku tumbuh dan dikenal sebagai perempuan yang selalu mempunyai pikiran baik, bahkan ketika aku dibohongi sekalipun. Berharap, orang lain akan berbuat baik pula.

Hingga semua hal itu datang, aku merasa terusik sekali. 1 tahun terakhir ku dikuasai oleh amarah, dan emosi yang selalu bergelora. Aku berubah menjadi perempuan yang sangat mudah marah dan mudah mengacuhkan perasaan orang lain. Hatiku keras membatu. Aku selalu berlindung dan mencoba bertahan dibalik sikap keras ini. Pun begitu mudah menghapus kehadiran mereka yang jahat dan penuh drama bagiku. Semudah itu. Karena, untuk apa memendam racun kalau lama kelamaan racun itu perlahan membunuhmu?

Banyak orang yang lalu lalang di dalam kehidupanku. Hampir setengah dari mereka yang ku kira sejati, namun berpindah haluan menjadi seseorang yang begitu asing untuk ku. Begitu pun kepada mereka yang aku remehkan kehadirannya, ternyata mereka lah yang sejati.

Banyak pula hal-hal yang terasa tidak benar melintas di depan depanku. Menyapa sebagai sebuah adegan yg tidak ingin aku lihat. Menyebabkan aku mudah merasa tidak suka, dan berpikiran buruk. Aku menjadi benci pada diriku sendiri karena selama ini aku tidak terdidik menjadi seseorang yang mudah terganggu. Selalu bisa melihat sisi terang dari seseorang dan sebuah masalah. Namun beginilah adanya fase kehidupan yang sedang kulalui. Percaya atau tidak, perasaan-perasaan ini membuat rasa percaya diri pun menurun. Oh, ternyata ini rasanya menjadi seseorang yang mudah membenci. Aku jadi lupa caranya mencintai diriku sendiri.

Singkatnya.. Hal-hal yang tidak menyenangkan itu datang bertubi-tubi hingga akhirnya pertahananku nampaknya mulai goyah, kembali melemah. Hari ini aku lupa caranya bertahan. Aku berubah cemas.

Seolah kolase waktu melaju abnormal, menjadi lebih lambat, sehingga aku bisa merasakan setiap detail perasaan yang tertuang di dalamnya. Perasaan yang ku harap tidak pernah hadir. Namun karena semuanya melambat, semakin lama pula aku bernaung di dalamnya, semakin dalam lukanya, semakin kuat upayaku membuat pertahanan, namun disaat itu pula semakin berat dan perlahan rubuh kembali.

Perasaan cemas ini terlalu besar, sebesar tubuhku, berbentuk bayangan hitam.

Cemas, kalau saja semua hal yang tidak menyenangkan itu menarik ku terjun bebas ke bumi, saat kaki ini ingin melangkah tinggi mengudara.

Cemas, akan menjadikan diriku seseorang yang tidak aku inginkan.

Cemas, jikalau mereka yang ku kira rumah ternyata hanya sebuah persinggahan.

Tidak, aku tidak ingin diriku berubah menjadi seperti ini!

Semoga saja frase sederhana dari temanku yang berbunyi “Percaya saja sama rencana baik Allah” dapat menjadi inangku untuk terus hinggap dengan kata-kata yang mengandung arti iman yang begitu kuat di dalamnya. Diri ini harus diselamatkan, tidak lagi boleh membatu.

Leave a comment